Semua orang yang berinvestasi baik itu property maupun saham dan obligasi, mereka selalu ingin membeli di harga rendah dan menjual di harga tinggi. Apabila Anda membeli investasi A dengan harga Rp. 1 juta dan setelah stabil tidak bergerak selama 4 tahun, pada tahun ke-5 harga baru naik menjadi Rp.2 juta, maka Anda mendapat keuntungan 100% dalam kurun waktu 5 tahun. Dalam kurun waktu 4 tahun menanti tsb, Anda mendapati peluang investasi B yang bisa menghasilkan return 100% juga dalam tahun ke-2, kemudian di tahun ke-3 Anda menemukan peluang investasi C yang juga menghasilkan 100%; tetapi karena sumber dana Anda sudah tertanam di investasi A maka peluang B dan C terpaksa terlewatkan.
Anda mungkin berpikir bila Anda membeli B dulu, kemudian setelah B dijual dengan keuntungan 100% lalu membeli C, dan setelah C dijual lagi dengan keuntungan 100% baru membeli A, maka Anda merasa dana investasi akan menghasilkan return yang maksimal. Sehingga cukup banyak orang yang berlomba-lomba untuk bisa memiliki kinerja yang luar biasa dengan mencoba Timing The Market, dalam artian mereka bisa membeli tepat sebelum harga mengalami kenaikan banyak, dan menjualnya tepat sebelum harga kembali turun.
Dengan Timing the Market diharapkan dana akan berputar secara maksimal dan jarang sekali dana mengendap diam tanpa memberikan return yang luar biasa. Karena peluang investasi seperti A, B dan C di atas kebanyakan terjadi di pasar saham, maka seringkali orang mencoba Timing the Stock Market. Tetapi jarang sekali (jika bukan tidak mungkin) ada investor yang bisa secara konsisten membeli di harga rendah dan menjual di harga tinggi secara terus menerus, apalagi jika yang diperjualbelikan adalah saham. Mengapa? Karena pergerakan harga dari Rp. 1 juta menjadi Rp. 2 juta seperti cerita di atas tidak berupa garis lurus, seringkali volatilitas harga yang luar biasa membuat investor tidak bisa menangkap pergerakan tsb secara maksimal.
Pada dasarnya manusia tidak lepas dari psikologi Fear and Greed (Takut dan Serakah). Coba Anda bayangkan, jika Anda membeli dengan harga Rp. 1 juta, setelah 3 bulan menunggu, tiba-tiba ada berita buruk atas investasi Anda (contoh: perusahaan mengalami gagal bayar hutangnya) dan harga menjadi Rp. 700.000,- sehingga Anda mengalami potensi rugi 30%. Apa yang akan Anda lakukan? Mungkin saja Anda takut perusahaan tsb akan bangkrut sehingga Anda menjualnya dan merealisasikan kerugian 30%. Ternyata gagal bayar tsb berhasil direstrukturisasi sehingga akhirnya harga bisa naik lagi.
Contoh di atas bisa juga diaplikasikan dalam konteks pasar saham secara keseluruhan, misalnya Anda berinvestasi di reksadana. Pada waktu terjadi krisis ekonomi, harga reksadana mengalami penurunan yang lumayan besar dan pada waktu ekonomi menunjukkan pemulihan, harga reksadana juga kembali naik. Dalam hal ini, kita sulit sekali memprediksi secara tepat kapan akan terjadi penurunan dan pemulihan harga reksadana tsb. Apabila Anda sependapat dengan kondisi di atas, mungkin Anda sebaiknya melakukan investasi secara rutin dan berkala, disebut juga Dollar Cost Averaging.
Dengan Dollar Cost Averaging, maka kita mengalokasikan sejumlah nominal uang untuk diinvestasikan ke instrument investasi secara rutin dan berkala. Apabila Anda sudah membuat rencana untuk berinvestasi secara berkala misalnya Rp. 1 juta per bulan setiap tanggal 5, maka pada tanggal 5 tsb uang Rp. 1 juta itu harus dibelikan produk investasi yang dimaksud pada harga berapapun. Apabila harga rendah, maka Anda akan mendapatkan jumlah unit yang lebih banyak, dan apabila harga tinggi, maka jumlah unit yang didapat akan sedikit. Sehingga pada waktu harga mengalami volatilitas naik turun, Anda juga ikut membeli di harga yang tinggi dan rendah. Dan bila investasi tsb di akhir periode mengalami kenaikan, maka investasi berkala yang Anda lakukan juga menghasilkan keuntungan.
Sebagai contoh, kita akan berinvetasi Rp. 1 juta setiap tanggal 5 per bulan (total Rp. 12 juta) pada instrument A selama 1 tahun. Sehingga investasi kita akan tercatat sbb:
Bila kita investasikan secara langsung uang Rp. 12 juta pada bulan Jan, maka saldo akhir akan menjadi Rp. 13.2 juta, tetapi dengan Dollar Cost Averaging bisa menjadi Rp. 14.5 juta karena harga rata-rata pembelian kita hanya Rp. 904. Tentu saja Anda akan mendapatkan profit maksimal jika Rp. 12 juta tsb Anda investasikan semua di bulan April, di mana harga adalah terendah selama periode di atas, tetapi seperti yang kita sepakati bersama sebelumnya, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan untuk melakukan Timing the Market seperti itu.
Dengan Dollar Cost Averaging kita akan berinvestasi secara teratur dan pada umumnya rata-rata nilai pembelian investasi juga akan lebih baik.