Pro and Con of Derivatives Trading

Berbicara tentang derivatives trading, seringkali yang kita dengar adalah sisi negatifnya, antara lain hancurnya Barings Bank di tahun 1995 setelah oknum karyawan melakukan transaksi derivatif yang mengakibatkan kerugian sangat besar. Pada mulanya instrumen derivatif diciptakan untuk melakukan hedging (lindung nilai).

Sebagai contoh: seorang pengusaha Indonesia yang membeli mesin dari Amerika senilai USD 1 juta, dan pengusaha tsb akan melunasi 3 bulan yang akan datang. Apabila kurs USD saat ini Rp. 8.500,- per USD, tetapi saat jatuh tempo USD menguat terhadap Rupiah menjadi Rp. 10.000,-, maka pengusaha tsb harus melunasi tagihan pembelian mesin dengan kurs Rp. 10.000,- per USD sehingga dia mengalami kerugian senilai Rp. 1,5 Milyar karena selisih kurs tsb.

Untuk menghindari kerugian semacam ini, pengusaha tsb bisa melakukan hedging dengan membeli forward di bank yang menyediakan. Transaksi forward ini adalah salah satu bentuk transaksi instrumen derivatif, dan tentu saja ada biaya yang harus dibayar, misalnya kurs forward untuk 3 bulan ke depan adalah Rp. 8.600,- per USD, maka biaya transaksi yang harus ditanggung pengusaha adalah sebesar Rp. 100 juta [USD 1 juta x (8600-8500)].

Dengan biaya tsb, pengusaha sudah terhindar dari risiko lonjakan kurs dan dia bisa membuat perencanaan bisnis yang lebih matang. Apabila kita lihat contoh di atas, maka ada manfaat yang bisa diambil dari bertransaksi derivatif. Selain itu, modal yang diperlukan untuk bertransaksi derivatif juga lebih rendah, yang disebut juga dengan leveraged position.

Instrumen derivatif ada banyak sekali macamnya, antara lain: futures, options, swap, dan lain-lain. Dan semua memiliki sisi positif ataupun negatif tergantung dari pengguna instrumen tsb. Keunggulan derivatif yang memerlukan modal awal rendah ini menjadikan instrumen tsb menarik minat para spekulan untuk bertransaksi dengan tujuan mencari keuntungan dari selisih kurs yang dihasilkan.

Di samping itu, produk derivatif yang diperdagangkan melalui bursa memiliki likuiditas yang sangat tinggi, tentu saja ini menjadi salah satu nilai positif juga. Sebaliknya, modal awal yang sangat rendah memiliki sisi negatif karena risiko menjadi tinggi. Sebagai contoh: si A membeli USD 1 juta dengan kurs Rp. 8.500,- per USD, maka nilai transaksi sebenarnya adalah Rp. 8,5 Milyar. Bila ditransaksikan dengan forward, dan persyaratan margin 10%, maka dia cukup menyediakan Rp. 850 juta untuk bertransaksi USD 1 juta. Apabila kurs USD menjadi Rp. 9.000,-, maka dia mendapat keuntungan Rp. 500 juta dengan modal Rp. 850 juta, dan sebaliknya bila kurs USD menjadi Rp. 8.000,- maka dia mengalami kerugian Rp. 500 juta dari modalnya Rp. 850 juta. Di sini terlihat jelas bahwa derivatif seperti pedang bermata dua, bisa memberikan keuntungan yang besar dan sekaligus kerugian yang besar pula.

Saat ini di Indonesia juga tersedia beberapa instrumen derivatif baik yang ditransaksikan melalui bank ataupun yang diperdagangkan di bursa berjangka. Produk yang diperdagangkan di Bursa Berjangka Jakarta misalnya stock index futures. Produk ini memerlukan modal awal yang sangat kecil, likuiditas yang tinggi, dan biaya transaksi yang relatif rendah sehingga menarik minat dari banyak pihak termasuk di antaranya para spekulan. Karena produk derivatif memiliki risiko yang tinggi, tentu saja produk ini tidak cocok untuk semua investor. Pastikan Bapak/Ibu memahami risk profile masing-masing dan memahami karakteristik dari produk yang ingin ditransaksikan.