Kapan Melakukan Rebalancing Portofolio

Pada saat membuat suatu perencanaan keuangan untuk pribadi maupun keluarga, setiap orang pasti menggunakan beberapa asumsi. Apabila mereka berinvestasi di saham, maka mereka memiliki asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan indeks saham yang dimiliki. Di samping itu, mereka juga memperkirakan tingkat pertumbuhan penghasilan pribadi dan keluarganya. Nilai kebutuhan biaya yang akan datang juga menggunakan asumsi tingkat inflasi biaya umum dan tingkat inflasi biaya pendidikan, karena inflasi pendidikan di Indonesia sangat tinggi. Dan satu hal yang juga ikut menentukan adalah toleransi risiko dari masing-masing pribadi. Berdasarkan asumsi-asumsi tsb, perencanaan keuangan dibuat, dan alokasi asset ditentukan dengan komposisi tertentu yang diharapkan dapat memenuhi semua kebutuhan yang direncanakan.

Apabila seseorang tidak pernah melakukan evaluasi atas perencanaan yang dibuat, maka mereka tidak akan tahu apakah realisasinya sudah seperti yang diharapkan. Pada saat dilakukan evaluasi, maka akan diketahui apakah kita perlu melakukan penyesuaian terhadap komposisi asset yang kita buat di awal. Sebagai contoh, pada saat membuat perencanaan, seseorang memiliki kekayaan terbatas dan toleransi risiko relatif rendah (konservatif), kemudian secara tak terduga, dia mendapat harta warisan yang besar sekali, atau mungkin mendapat hadiah undian yang besar sekali, maka hal-hal semacam ini berpotensi mempengaruhi tingkat toleransi risikonya, dan mungkin saja tujuan yang ingin dicapai pada saat perencanaan keuangan dibuat, sekarang sudah terpenuhi dan dia memiliki tujuan yang baru. Dengan perubahan tsb, maka komposisi asset harus disesuaikan lagi dengan perencanaan yang baru, sehingga dilakukan Rebalancing.

Hal lain yang bisa menyebabkan perlunya Rebalancing misalnya perubahan kondisi ekonomi, perubahan peraturan perpajakan, perubahan jangka waktu pencapaian tujuan, perubahan hukum, dan hal-hal khusus lainnya. Sebagai contoh, seseorang yang berinvestasi pada instrumen yang bebas pajak, kemudian karena perubahan peraturan perpajakan, maka investasi tsb menjadi terkena pajak, maka harus dievaluasi implikasinya. Contoh yang lain, asumsi awal pertumbuhan ekonomi yang bagus, kemudian terjadi resesi yang berkepanjangan, maka perlu dievaluasi dan dilakukan Rebalancing.

Pada dasarnya Rebalancing bisa dilakukan dengan beberapa cara, misalnya Calendar Rebalancing. Dengan Calendar Rebalancing maka kita secara regular misalnya setiap enam bulan atau setiap awal tahun mengevaluasi portofolio yang dimiliki, dan menyesuaikan komposisi asset ke komposisi awal yang ditentukan.

Sebagai contoh kita menetapkan komposisi awal 50% saham dan 50% deposito, kemudian pada saat dilakukan Calendar Rebalancing, posisi saham mengalami kenaikan banyak sehingga komposisinya menjadi 70% saham dan 30% deposito. Maka sebagian saham harus dijual dan diganti menjadi deposito sehingga komposisi menjadi 50%-50% lagi. Tetapi jika saham mengalami penurunan sehingga menjadi 30% saham dan 70% deposito, maka sebagian deposito dicairkan dan dibelikan saham agar komposisi menjadi 50%-50% lagi. Rebalancing seperti contoh di atas disebut juga menggunakan Constant Mix (komposisi assset nya dipertahankan sama terus).

Bagi investor yang lebih canggih dan agresif, mereka bisa juga melakukan rebalancing dengan cara lain, misalnya apabila saham mengalami kenaikan, maka akan ditambah lagi dengan harapan mengejar trend kenaikan saham. Tetapi jika saham mengalami penurunan, maka saham akan dijual dengan tujuan membatasi kerugian hingga suatu level tertentu mereka tidak memiliki saham sama sekali, semua hanya deposito.

Satu hal yang harus diingat, kita harus mempertimbangkan cost-benefit dari Rebalancing yang akan dilakukan. Apabila benefit yang didapat lebih besar dari cost, maka Rebalancing perlu dilakukan.